Indonesia merupakan negara yang rawan terhadap bencana seperti banjir, tanah longsor dan tsunami. Bencana massal tersebut umumnya menyebabkan hilangnya jiwa manusia, kerusakan harta benda dan lingkungan. Umumnya korban yang hidup telah banyak dapat diatasi oleh tim medis, para medis dan tim pendukung lainnya. Namun berbeda bagi korban yang sudah meninggal yang perlu ditangani secara khusus dengan membentuk tim khusus pula. Pada korban yang telah meninggal umumnya dilakukan identifikasi korban atau yang sering disebut Disaster Victim Identification (DVI). DVI merupakan prosedur untuk mengidentifikasi korban meninggal akibat bencana massal secara ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan dan mengacu kepada standar baku Interpol. identifikasi korban mati merupakan suatu hak asasi manusia (HAM) pada serta pemenuhan aspek legal sipil juga untuk keluarganya, termasuk identifikasi masalah korban bom atau korban akibat terorisme lainnya.
Dari aspek hukum nasional, kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) walaupun aspek lain diproses identifikasi, karena menyangkut masalah penyelidikan dan penyidikan, dapat terkait dengan pelayanan kesehatan dalam bencana, antara lain :
· Pasal 120 (1) KUHAP :
Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat seorang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.
· Pasal 133 (1) KUHAP :
Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan atau mati yang diduga karena peristiwa pidana, ia berhak mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan ahli lainnya.
Karena pada dasarnya identifikasi korban bencana massal merupakan bagian dari pelayanan kesehatan pada gawat darurat, pekerjaan identifikasi medic tidak memerlukan/ menunggu surat permintaan dari pihak penyidik (polisi). Adapun proses DVI meliputi 5 fase, dimana setiap fasenya mempunyai keterkaitan satu dengan yang lainnya, yang terdiri dari ‘The Scene’(olah tempat kejadian perkara), ‘The Mortuary (Autopsi mayat)’, ‘Ante Mortem Information Retrieval’ (pengumpulan data antemortem), ‘Reconciliation’ (pencocokan data ante dan post mortem) and ‘Debriefing’ (pemusalaran jenazah). Interpol menentukan Primary Indentifiers yang terdiri dari Fingerprints, Dental Records dan DNA serta Secondary Indentifiers yang terdiri dari Medical, Property dan Photography. Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan membandingkan data Ante Mortem dan Post Mortem, semakin banyak yang cocok maka akan semakin baik. Untuk primary identifiers, identifikasi dilakukan dengan
1) Sidik jari,
2) Serologi,
3) Odontologi,
4) Antropologi
5) Biologi.
Pada Secondari Identifiers, identifikasi dapat dilakukan dengan :
1. Cara visual, dapat bermanfaat bila kondisi mayat masih baik, cara ini mudah karena identitas dikenal melalui penampakan luar baik berupa profil tubuh atau muka. Cara ini tidak dapat diterapkan bila mayat telah busuk, terbakar, mutilasi serta harus mempertimbangkan faktor psikologi keluarga korban (sedang berduka, stress, sedih, dll)
2. Melalui kepemilikan (property) identititas cukup dapat dipercaya terutama bila kepemilikan tersebut (pakaian, perhiasan, surat jati diri) masih melekat pada tubuh korban.
3. Dokumentasi, foto diri, foto keluarga, foto sekolah, KTP atau SIM dan lain sebagainya.
Selanjutnya dalam identifikasi tidak hanya menggunakan satu cara saja, segala cara yang mungkin harus dilakukan, hal ini penting oleh karena semakin banyak kesamaan yang ditemukan akan semakin akurat. Identifikasi tersebut minimal harus menggunakan 2 cara yang digunakan memberikan hasil yang positif (tidak meragukan).
Setelah Korban Teridentifikasi
Setelah korban teridentifikasi sedapat mungkin dilakukan perawatan jenazah yang meliputi antara lain:
a. Perbaikan atau rekonstruksi tubuh jenazah
b. Pengawetan jenazah (bila memungkinkan)
c. Perawatan sesuai agama korban
d. Memasukkan dalam peti jenazah
Kemudian jenazah diserahkan kepada keluarganya oleh petugas khusus dari Komisi Identifikasi.
Referensi
Singh, S., 2008. Disaster Victim Identification. Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41(4):254-258
Tidak ada komentar:
Posting Komentar